NASRUDIN KOCAAAKKK....
Salam
Pada Sebuah Kapal
Pada Sebuah Kapal
Nasrudin
berlayar dengan kapal besar. Cuaca cerah menyegarkan, tetapi Nasrudin
selalu mengingatkan orang akan bahaya cuaca buruk. Orang-orang tak
mengindahkannya. Tapi kemudian cuaca benar-benar menjadi buruk, badai
besar menghadang, dan kapal terombang ambing nyaris tenggelam. Para
penumpang mulai berlutut, berdoa, dan berteriak-teriak minta tolong.
Mereka berdoa dan berjanji untuk berbuat sebanyak mungkin kebajikan jika mereka selamat.
“Teman-teman!” teriak Nasrudin. “Jangan boros dengan janji-janji indah! Aku melihat daratan!”
Umur Nasruddin
“Berapa umurmu, Nasrudin ?”
“Empat puluh tahun.”
“Tapi beberapa tahun yang lalu, kau menyebut angka yang sama.”
“Aku konsisten.”
Belajar Kebijaksanaan
Seorang darwis ingin belajar tentang kebijaksanaan hidup dari Nasrudin.
Nasrudin
bersedia, dengan catatan bahwa kebijaksanaan hanya bisa dipelajari
dengan praktek. Darwis itu pun bersedia menemani Nasrudin dan melihat
perilakunya.
Malam itu Nasrudin
menggosok kayu membuat api. Api kecil itu ditiup-tiupnya. “Mengapa api
itu kau tiup?” tanya sang darwis. “Agar lebih panas dan lebih besar
apinya,” jawab Nasrudin.
Setelah
api besar, Nasrudin memasak sop. Sop menjadi panas. Nasrudin
menuangkannya ke dalam dua mangkok. Ia mengambil mangkoknya, kemudian
meniup-niup sopnya.
“Mengapa sop itu kau tiup?” tanya sang darwis. “Agar lebih dingin dan enak dimakan,” jawab Nasrudin.
“Ah, aku rasa aku tidak jadi belajar darimu,” ketus si darwis, “Engkau tidak bisa konsisten dengan pengetahuanmu.”
Ah, konsistensi.
Yang Tersulit
Salah
seorang murid Nasrudin di sekolah bertanya, “Manakah keberhasilan yang
paling besar: orang yang bisa menundukkan sebuah kerajaan, orang yang
bisa tetapi tidak mau, atau orang yang mencegah orang lain melakukan hal
itu ?”
“Nampaknya ada tugas yang lebih sulit daripada ketiganya,” kata Nasruddin.
“Apa itu?”
“Mencoba mengajar engkau untuk melihat segala sesuatu sebagaimana adanya.”
Penyelundup
Ada kabar angin bahwa Mullah Nasrudin berprofesi juga sebagai penyelundup.
Maka setiap melewati batas wilayah, penjaga gerbang menggeledah jubahnya yang berlapis-lapis dengan teliti.
Tetapi
tidak ada hal yang mencurigakan yang ditemukan. Untuk mengajar, Mullah
Nasrudin memang sering harus melintasi batas wilayah.
Suatu
malam, salah seorang penjaga mendatangi rumahnya. “Aku tahu, Mullah,
engkau penyelundup. Tapi aku menyerah, karena tidak pernah bisa
menemukan barang selundupanmu. Sekarang, jawablah penasaranku: apa yang
engkau selundupkan ?”
“Jubah,” kata Nasrudin, serius.
Terburu – Buru
Keledai
Nasrudin jatuh sakit. Maka ia meminjam seekor kuda kepada tetangganya.
Kuda itu besar dan kuat serta kencang larinya. Begitu Nasrudin
menaikinya, ia langsung melesat secepat kilat, sementara Nasrudin
berpegangan di atasnya, ketakutan.
Nasrudin mencoba membelokkan arah kuda. Tapi sia-sia. Kuda itu lari lebih kencang lagi.
Beberapa
teman Nasrudin sedang bekerja di ladang ketika melihat Nasrudin melaju
kencang di atas kuda. Mengira sedang ada sesuatu yang penting, mereka
berteriak,”Ada apa Nasrudin ? Ke mana engkau ? Mengapa terburu-buru ?”
Nasrudin balas berteriak, “Saya tidak tahu ! Binatang ini tidak mengatakannya kepadaku !”
Tampang Itu Perlu
Nasrudin hampir selalu miskin. Ia tidak mengeluh, tapi suatu hari istrinyalah yang mengeluh.
“Tapi aku mengabdi kepada Allah saja,” kata Nasrudin.
“Kalau begitu, mintalah upah kepada Allah,” kata istrinya.
Nasrudin
langsung ke pekarangan, bersujud, dan berteriak keras-keras, “Ya Allah,
berilah hamba upah seratus keping perak!” berulang-ulang.
Tetangganya
ingin mempermainkan Nasrudin. Ia melemparkan seratus keping perak ke
kepala Nasrudin. Tapi ia terkejut waktu Nasrudin membawa lari uang itu
ke dalam rumah dengan gembira, sambil berteriak “Hai, aku ternyata
memang wali Allah. Ini upahku dari Allah.”
Sang
tetangga menyerbu rumah Nasrudin, meminta kembali uang yang baru
dilemparkannya. Nasrudin menjawab “Aku memohon kepada Allah, dan uang
yang jatuh itu pasti jawaban dari Allah.”
Tetangganya
marah. Ia mengajak Nasrudin menghadap hakim. Nasrudin berkelit, “Aku
tidak pantas ke pengadilan dalam keadaan begini. Aku tidak punya kuda
dan pakaian bagus. Pasti hakim berprasangka buruk pada orang miskin.”
Sang
tetangga meminjamkan jubah dan kuda.Tidak lama kemudian, mereka
menghadap hakim. Tetangga Nasrudin segera mengadukan halnya pada hakim.
“Bagaimana pembelaanmu?” tanya hakim pada Nasrudin. “Tetangga saya ini gila, Tuan,” kata Nasrudin.
“Apa buktinya?” tanya hakim.
“Tuan
Hakim bisa memeriksanya langsung. Ia pikir segala yang ada di dunia ini
miliknya. Coba tanyakan misalnya tentang jubah saya dan kuda saya,
tentu semua diakui sebagai miliknya. Apalagi pula uang saya.”
Dengan kaget, sang tetangga berteriak, “Tetapi itu semua memang milikku!”
Bagi sang hakim, bukti-bukti sudah cukup. Perkara putus.
Comments
Post a Comment